Skip to main content

K E L U A R G A

Tiadalah dapat seorang pembahas menentukan suatu sistem keluarga yang dipakai oleh kabilah-kabilah Arab. Karena adat istiadat kabilah-kabilah itu kadang-kadang amat jauh berbeda. Yang demikian disebabkan oleh sistem kabilah, yang telah menjadikan satu kabilah sebagai satu kesatuan yang mempunyai adat istiadat dan budi pekerti tersendiri, yang boleh jadi amat jauh bedanya dari adat istiadat dan budi pekerti kabilah-kabilah yang lain.
Akan tetapi ada suatu gejala yang boleh dikatakan kelihatan dengan jelas pada tiap-tiap kabilah. Yaitu : adat menjaga dan membela wanita, dan memandang kehormatan perempuan itu lebih tinggi harganya daripada jiwa, harta dan anak pinak.
Perempuan-perempuan itu sendiri pun, kerapkali pula dapat mempergunakan kesempatan mereka di medan perang untuk memompakan semangat yang berapi-api kepada kaum laki-laki yang sedang bertempur.
Pada pertempuran Dzi Qar yang terjadi antara bansa Persia dengan Kabilah Bakr tampilah seorang perempuan dari Bani Ajal menyanyikan sebuah lagu untuk menghasung kaum laki-laki yang sedang bertempur, agar mereka bertempur dengan mati-matian.
Dalam nyanyian itu ia atas nama teman-temanya kaum wanita mengucapkan janji yang muluk-muluk kepada kaumlaki-laki yang sedang bertempur itu. Janji itu akan dipenuhi kalau mereka menang, dan diancam kalau mereka kalah. Nyanyian ini diubah dalam sebuah sajak yang berbunyi:

"Kalau kamu dapat mengalahkan musuh, kita berpeluk-pelukan.
Kita hamparkan permadani
Tetapi kalau kamu yang kalah, kita bercerai.
Cerai sebagai orang yang tak pernah mencintai"

Tidak jarang pula penghargaan kepada kaum perempuan telah menyeleweng dan berlebih-lebihan sampai menimbulkan bencana serta menyebabkan perbuatan-perbuatan yang memberi malu dan noda. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini peristiwa ‘Amr ibnul Mundzir ibnu Mais Sama’. ‘Amr ini seorang yang berkuasa (raja) di Hirah. Sekali peristiwa dia bertanya kepada orang-orang yang sama-sama duduk dengan dia : "setahu kamu sekalian, adakah di tanah Arab ini orang yang ibunya enggan melayani ibuku? Tidak ada, jawab mereka, hanya boleh jadi ‘Amr ibnu Kultsum".
Maka oleh ‘Amr ibnul Mundzir dengan ibunya yang bernama Hindun dijamu ‘Amr ibnul Kultsum dengan ibunya yang bernama Laila binti Muhalhil. Kepada ibunya dibisikkannya agar diwaktu makan dan minum nanti ibunya meminta tolong kepada Laila supaya mengambilkannya piring dan sebagainya.
Hindun menjalankan sebagai yang dibisikan anaknya itu, akan tetapi Laila menjawab :"Masing-masing haruslah mengambil apa yang diperlukannya!"
Hindun meminta sekali lagi supaya Laila menolongnya. Akan tetapi Laila arif apa yang dimaksud orang kepadanya, dan terasa olehnya bahwa perasaan dan kehormatannya tersinggung, maka berteriaklah ia: "Penghinaan! Penghinaan !"
Teriakannya itu kedengaran oleh anaknya. Maka melompatlah dia dari tempat duduknya dan direbutnya sebuah pedang yang kebetulan tergantung di dinding, lalu dibunuhnya ‘Amr ibnul Mundzir dengan pedang itu.
Dari cerita ini, yang kita cantumkan di sini dengan ringkas, dapatlah pembaca membayangkan kedudukan wanita pada bangsa Arab yang dicerminkan oleh Hindun dan Laila. Dari cerita ini kita dapat mengetahui ketajaman perasaan wanita Arab, seperti yang tercermin pada Laila. Kelihatan pula betapa sepatah kata saja Laila yang melukiskan kemarahan hatinya telah mengakibatkan tewasnya seorang raja.
Salah satu gejala dari adanya keinginan yang berlebih-lebihan untuk menjaga agar perempuan itu selalu terhormat ialah : kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup, karena dikhawatirkan nanti akan bernoda atau di tawan musuh.
Akan tetapi kebiasaan membunuh anak perempuan ini tentu saja tiadalah menjadi adat bagi seluruh kabilah Arab, hanya terdapat pada sementara Bani Asad dan Tamim.
Tentang pembinaan keluarga, maka umumnya adalah menurut yang biasa saja. Yaitu laki-laki meminang wanita yang hendak dikawinnya kepada keluarganya. Bial pinangan itu dikabulkan, maka dibawanyalah wanita itu ke rumahnya dan dilangsungkan pernikahan.
Telah menjadi kebiasaan pula meminta pikiran perempuan lebih dahulu, sebelum dia dikawinkan.
Buku-buku kesusastraan dan sejarah banyak menceriatakan peristiwa Aus ibnu Haritsah dengan ketiga orang puteranya, ketika didatangi oleh Al harit ibu ‘Auf, untuk meminang salah seorang puterinya itu.
Aus memanggil puterinya yang tertua, dan kepadanya disampaikan pinangan bangsawan Arab itu.
Puterinya mengemukakan beberpa ‘aib yang ada pada dirinya sendiri. Padahal antara dia dan Al Harits tidak ada kekerabatan atau dipandang oleh Al Harits bukan pula tetangga dari ayahnya, yang akan menyebabkan ayahnya merasa malu untuk menolak pinangannya.
Lebih lanjut puterinya itu berkata : "Aku takut kalau-kalau aku nanti dicerikannya; hal itu tentu tidak baik bagiku".
Aus memanggil puterinya yang menengah. Ia pun menolak sebagai tolakan saudaranya yang tua itu. Akhirnya Aus memanggil puterinya yang terkecil. Ia menerima pinangan itu. Maka diceritakanyalah oleh ayahnya bahwa saudaranya yang berdua telah menolak, dan dijelaskannya mengapa saudara-saudaranay itu menolak. Maka berkatalah puterinya yang paling muda itu "Akan tetapi, demi Allah, mukaku cantik, aku banyak berbuat baik. Budi pekertiku pun halus. Bahkan pula ayahku berbangsa tinggi". Bertanyala ayahnya:"Tidakkah engkau takut akan diceraikannya?" Pertanyaan ayahnya itu dijawabnya:"jika aku dicerikan, kendatipun sifat-sifatku sebagai disebutkan itu, tiadalah ia akan diberkati oleh Allah ".Maka oleh Aus dikawinkanlah dia dengan Al Harits itu.
Dengan memperhatikan ceritera ini dapat pula kita mengetahui bahwa bangsa Arab telah mengenal pula thalaq itu.
Telah jadi kebiasaan bagimereka bahwa thalaq itu di tangan laki-laki. Seorang laki-laki berhak memegang terus istrinya atau menceraikannya. Akan tetapi ada sementara wanita yang tiada mau diperistri, kalau tidak hak mencerai itu dipegang oleh mereka. Diantaranya Salma binti ‘Amr dari Bani An Najjar. Salma ini ialah ibu dari Abdul Mutthalib ibnu Hasjim.
Ada lagi suatu kebiasaan bangsa Arab, yaitu tidak mau mengawinkan putri-putri mereka kepada bangsa asing (yang bukan bangsa Arab).
Pernah Kisra Persia hendak memingang salah seorang dari puteri Nu’man ibnu Mundzin raja Hirah.
Wanita-wanita padang pasir tidak ingin dikawinkan dengan pendduk negeri. Sebagai contoh dapat kita sebut Maisun istri dari Mu’awiah ibnu Abi Sufyan dan ibu dari Yazid ibnu Mu’awiah. Maisun tidak betah hidup mewah dalam istana di kota Damaskus nan indah itu. Jiwany selalu rindu kepada kemahnya, serta hidupnya yang bebas digurun pasir.
Untuk melahirkan perasaan hatinya ditulisnya sebuah kasidah yang panjang, diantaranya :

Memakai baju ‘aba’ah yang kasar akan tetapi hatiku senang, lenih kusukai daripada memakai yang halus-halus
Angin yang repihan roti di rumah yang sudah bukit lebih kusukai daripada mahligai yang tinggi
Mamakan repihan roti di rumah yang sudah runtuh, lebih kusukai daripada memakan roti yang segar

Tatkala Mu’awiah mengetahui hal ini dikembalikannyalah istrinya ke kampungnya di padang pasir.
Dimasa Jahiliah jumlah istri pada bangsa Arab tiada terbatas. Dalam buku fiqh banyak disebutkan contoh tentang orang sebelum Islam yang beristri lebih dari empat orang. Ada diantaranya yang mempunyai istri sampai sepuluh orang. Orang ini disuruh memilih empat orang di antara istri itu dan menceraikan yang selebihnya.
Orang Arab Amat suka mempunyai anak laki-laki. Doa mereka diwaktu kawin ialah : "Bir rifai wal banin".(moga-moga sesuai, dan banyak anak laki-laki) Dan adalah suatu hal yang jelas bahwa putra yang laki-laki itulah yang menjadi saka guru dan tiang keluarga.
Wanita Arab menjadi teman dan penolong yang baik bagi suaminya, karena dia mempunyai bermacam kepandaian yang menyebabkan kecerdasannya setarf dengan kecerdasan suaminya. Dia pandai menggembala, bernyanyi, bersyair, menari, memintal benang, bertenun kain dan membuat kemah. Kesemuanya itu dapat dikerjakan oleh seorang wanita Arab, disamping kewajibannya sebagai ibi rumah tangga dan nyonya rumah.
Wanita Arab di zaman Jahiliah tidak mengenal "hijab" bahkan sampai sekarang ini pun wanita-wanita padang pasir Arab tidak mengenal Hijab. Mereka biasa keluar rumah dengan mengapit lengan suaminya sebagai kebiasaan orang-orang Barat
Adapun hijab yang kedapatan dikota-kota Jazirah Arab di zaman sekarang, biarpun dengan cara menutup muka, atau dengan cara tidak boleh keluar rumah atau memasuki masyarakat adalah suatu peraturan yang dimasukan oleh bangsa Turki ke dunia Islam, dimasa mereka berkuasa dahulu. Hijab ini oleh bangsa Turki diberi corak keIslaman, padahal sebenarnya dia bukanlah adat istiadat Arab dan bukan pula adat istiadat Islam.
Ada suatu kebiasaan yang tidak baik, yang terkadang diderita oleh wanita Arab, yaitu istri dari ayah biasanya diwarisi (dikawini oleh anaknya) seperti mewarisi harta benda. Perkawinan semacam ini mereka namai "Zawaju’l maqt" (kawin marah)
Akan tetapi kebiasaan ini tidak begitu tersiar. Biasanya dilakukan terhadap wanita yang tiada beranak
Sementara itu ahli-ahli sejarah mamandang perlakuan ini sebagai akibat sistem perkawinan bangsa Arab, yaitu sistem yang menganggap bahwa perkawinan itu berarti memutuskan hubungan antara seorang wanita dengan ayah dan saudara-saudara laki-laki.
Keluarga pada bangsa Arab adalah suatu kesatuan yang anggotanya dukung mendukung, biarpun keadilan atau dalam perbuatan aniaya. Dalam hal ini semboyan mereka ialah :"Tolong saudaramu, biarpun menganiaya atau teraniaya!"
Walupun demikian pendirian dua orang yang bersaudara, kemudian antara anak-anak atau keturunan dari dua orang bersaudara itu, lekas pula terjadi permusuhan, yang menyebabkan mencetus api peperangan antara mereka. Seperti permusuhan yang terjadi antara keturunan ‘Abdud Dar dan keturunan ‘Abdu Manaf, sedangkan ‘Abdud Dar dan ‘Abdu Manaf, itu adalah bersaudara. Keduanya putera dari Qushai. Begitu juga permusuhan yang terjadi antara keturunan ‘Abdu Manaf dengan Umaiyah Ibnu’Abdu Syam. Demikian pula permusuhan yang timbul antara keluarga Abbasiah dan keluarga Alawiah padahal kedua golongan ini adalah keturunan ‘Abdull Mutthalib ibnu Hasyim. ( Prof. Dr. A. Syalabi )
[sumber;centrin21.tripod.com]

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Alda Risma

Alda Risma Latar belakang Nama lahir     Alda Risma Elfariani Lahir     23 November 1982 Indonesia Bogor, Indonesia Meninggal     12 Desember 2006 (umur 24) Indonesia Jakarta, Indonesia Jenis Musik     blues, jazz Pekerjaan     penyanyi, aktris Tahun aktif     1997-2006 Perusahaan rekaman     Blackboard Pasangan     Iwan Sastrawijaya (putus) Orang tua     A. Farid R. & Halimah Alda Risma Elfariani/Alda R. binti A. Farid R. (lahir di Bogor, Jawa Barat, 23 November 1982 – meninggal di Jakarta, 12 Desember 2006 pada umur 24 tahun) adalah penyanyi dan aktris Indonesia. Wanita bertinggi badan 160 cm ini populer terutama melalui lagu Aku Tak Biasa. Ia pernah pula berkolaborasi dengan boyband Code Red. Kehidupan awal Alda Risma lahir di Bogor pada tanggal 23 November 1982. Ibunya bernama Halimah. Ia dibesarkan di Cikaret, Bogor Selatan. Sejak tahun 1980, Alda dan orangtuanya tinggal di rumah tersebut.  Karier Ia menjadi populer melalui lagu Aku Tak B

Dr. Handrawan Nadesul

Dr. Handrawan Nadesul (lahir di Karawang, Jawa Barat, 31 Desember 1948; umur 63 tahun) adalah seorang dokter, penyair, dan penulis di Indonesia. Ia juga menulis artikel, opini kesehatan, dan menjadi narasumber untuk media  bagi masalah-masalah kesehatan dan juga menulis puisi. Karya-karyanya telah dimuat dan diterbitkan di media massa nasional sejak tahun 1968. Dr. Handrawan menjadi penulis sejak tahun 1972  dan sejak itu banyak menulis artikel opini, kolom di sejumlah media cetak. Lebih dari 1.500 artikel ditulis sampai 2008, 74 judul buku kesehatan, dan seminar kesehatan untuk awam di sejumlah kota besar. Di Bogor pada tahun 1981 dia sempat membentuk Dokter Kecil yang beranggotakan 400-an murid SD yang berprestasi di sekolah masing-masing, dan juga menggerakkan kader Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) di tingkat kelurahan. Ia bercita-cita menulis artikel kesehatan dan buku untuk mencerdaskan rakyat dan mengangkat derajat kesehatan ketika status kesehatan sebagian raky

Damayanti Rusli Sjarif

Lahir     30 Januari 1959 (umur 53)Indonesia Padang, Sumatera Barat, Indonesia Kebangsaan     Indonesia Pekerjaan     Dokter Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), (lahir di Padang, Sumatera Barat, 30 Januari 1959; umur 53 tahun) adalah pakar penyakit nutrisi dan metabolik anak berkewarganegaraan Indonesia. Saat ini Damayanti berprofesi sebagai dokter spesialis anak pada Bagian Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Anak FKUI/RSCM Jakarta. Saat di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Damayanti pernah menjadi pelajar teladan tingkat SMP se-Kodya Bandung dan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1974. Begitu pula setelah tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun 1983, Damayanti ditugaskan di sebuah puskesmas daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena kesungguhannya dalam bertugas, wanita pencinta buku ini meraih penghargaan sebagai dokter teladan puskesmas. Setelah bertugas di daerah, Damayanti melanjutkan studinya dengan mengamb