Mengantar Roh Menghadap Hyang Widi
Hong wilaheng mangkudaya
jagad dewa bathara eyang
jagad pramudita ingkang
miwiti, ndugiaken kajate
saking bapak Sudarmiko kang
sedekah ngentas dateng siti
dermaipun ……… .
Itulah sepenggal bacaan mantra yang diucapkan sang dukun Suku Tengger, Supayadi, ketika acara hajatan entas-entas dari keluarga Sudarmiko alias Ikok, di Balai Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Ya, sang dukun antara lain bertugas sebagai pengantar upacara adat, termasuk entas-entas. Sebagai pengantar upacara adat, sang dukun tidak digaji, tetapi ia menerima dari masyarakat secara sukarela. Entas-entas adalah sebuah acara adat untuk mengentas leluhur yang sudah meninggal. Di acara tersebut rangkaiannya antara lain rakan tawang, mohon ijin kepada yang akan ditempati. Kedua, merniti (menghitung leluhur yang akan diswargakan atau yang akan dientas). Esok dilanjutkan ngelukat sebagai acara puncak atau pembersihan leluhur.
Di tengah-tengah membacakan mantranya, sang dukun dengan atribut dukunnya yakni baju beskar putih dengan selempang wama kuning keemasan serta blangkon, akan menyebut siapa saja yang dientas. Sedangkan urutan acara resepsi entas-entas, yang pertama mepek, artinya uba rampe yang akan dihaturkan, berarti sudah komplet. Setelah mepek, baru dihaturkan oleh yang namanya dukun. Yang dihaturkan sesaji yang berupa dandanan. Kalau ritual bagi umat Hindu, dipimpin yang namanya Pak Mangku. Tetapi di antara adat dan tradisi Hindu, tidak ada hal-hal yang bertentangan. Yang di brang wetan (sebelah timur Gunung Bromo, masuk wilayah Probolinggo) Pak Sudja’i (almarhum), untuk brang kulon (sebelah barat Gunung Bromo, masllk wilayah Pasuruan) namanya Supayadi. Warga Desa Wonokitri ada 670 KK, atau sekitar 3.000 lebihjiwa. Pendapatan mayoritas petani sayuran, kentang, kubis, jagung dan lainnya.
Usai mepek, didoakan bersama-sama, pihak keluarga menghaturkan sesaji untuk persembahyangan. Setelah itu baru acara ramah tamah atau makan bersarna. Esoknya, ngelukat, artinya melabuh sejaji. Tempat leluhur dilabuh nantinya, di sungai terdekat, Sungai Mandrim. Yang dilabuh pitrayadnyanya, seperti foto atau gambar-gambar orang yang sudah meninggal.
Gotong royong, guyub rukun dan tanpa pamrih, mewarnai kehidupan sehari-hari Suku Tengger pada umumnya, dan khususnya warga Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Apalagi ketika mereka punya hajat, seperti entas-entas. Warga Suku Tengger yang terletak di brang kulon (sisi barat) Gunung Bromo (Pasuruan) itu masih kuat memegang tradisi dan warisan nenek moyangnya. Tak heran saat ada yang memiliki gawe, maka tetangga sekitar bahkan warga sekampung urun tenaga, pikiran bahkan urun biaya. Saat wartawan Majalah Derap Desa hendak menemui kepala desa (kades) Wonokitri, Aidarmiwati, yang merupakan Kades pertama wanita Suku Tengger, untuk wawancara, kebetulan di desa tersebut sedang ada hajatan. Ada dua warga yang punya hajat. Yang satu hajatan pengantin, sedangkan yang satunya entas-entas (selamatan untuk orang yang sudah meninggal). Ya, upacara adat dan selamatan tampaknya tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat Tengger.
Ada upacara Kasada (memperingati leluhur suku yakni Rara Anteng dan Jaka Seger), Karo (doa untuk leluhur Tengger), Barikan (tolak balak Desa Wonokitri), Pagenepan (doa untuk semua lembaga desa, menggenapkan apa kegiatan di desa), Pujan (memuja sang penguasa air/doa minta hujan). Bahkan perangkat gamelan yang akan digunakan untuk perhelatan, ada selamatan tersendiri. Selamatan entas-entas (pitrayadnya) berlangsung di Balai Desa Wonokitri, Seiasa, 21 Juni 2011 lalu. Yang punya hajat adalah keluarga Sudarmiko (36) alias Pak Ikok. Desa Wonokitri berjarak sekitar 3 km dari Kecamatan Tosari, ke arah timur. Upacara adat Tengger entas-entas itu selamatan untuk orang yang sudah meninggal dunia. “Kalau orang Jawa pada umumnya seperti nyewu-lah,” kata Sadiyono (48), Kaur Keuangan Desa Wonokitri. Entas-entas ini bukan budaya Hindu, tetapi tradisi turun temurun dari nenek moyang, meski ada kaitannya dengan Hindu. Seperti diketahui, mayoritas warga Desa Wonokitri, Kec Tosari beragama Hindu. Yang non-Hindu sangat sedikit. Muslimnya ada 3 KK (kepaia keiuarga), sedang umat kristianinya Cuma dua KK. “ Antar sesama umat beragama di sini nggak ada masalah, mereka yang non-Hindu juga diundang acara entas-entas,” ujarnya.
Kewenangan
Puluhan ibu-ibu tampak guyub dan bergotong-royong masak-memasak di bagian belakang Balai Desa Wonokitri. Mereka sedang menyiapkan jamuan untuk upacara entas-entas. Hampir semua para wanita yang memasak, berselempang kain sewek atau jarit di bahunya. Itu menjadi ciri khas wanita Suku Tengger, memakai kaweng dari sewek (kain panjang, Red) sedangkan laki-laki ber-kaweng-kan kain sarung. “Ciri khas orang Tengger seperti itu, walaupun memakai jaket yang harganya Rp 200 ribu, kalau tidak memakai sarung atau sewek rasanya tidak marem (puas). Padahal harga sarungnya cuma Rp 15 ribu,” kata Sadiyono.
Remaja putri dan ibu-ibu yang membantu memasak, membuat kue atau mempersiapkan keperluan perhelatan, sambil berbincang-bincang. Dialek Suku Tengger mirip dengan dialek orang Tegal atau Banyumas. Meski sama dengan bahasa Jawa, banyak kata yang menggunakan akhiran ‘a’ bukan ’0′. Kalau orang Jawa bilang kono, iyo, sego, orang Tengger bilang kana, iya, sega, dan lain-lain. Untuk mempersiapkan uba rampe upacara entas-entas, melibatkan tidak kurang dari 95 orang sanak famili dan para tetangga. Ibu-ibu yang membantu memasak istilahnya bethek, sedang laki-laki yang membantu persiapan perhelatan namanya sinoman.
Kebetulan yang punya hajat entas-entas perorangan. Kalau hajatan di rumah agak sempit, mencari yang agak luas, seperti di balai desa. Tetapi biasanya di rumah yang bersangkutan jika rumahnya besar dan luas. Kebetulan rumah Pak Ikok agak sempit meski dia terbilang kaya. Kaur Keuangan Desa Wonokitri, Sadiyono, yang kebetulan masih ada hubungan famili dengan Pak Ikok, menyatakan, entas-entas kalau dikaitkan dengan upacara adat Hindu, termasuk manusia yadnya. “Kalau di sini (suku Tengger, Red) tidak ada target harus sekian tahun setelah orang meninggal harus ada entas-entas,” katanya. Acara tersebut sebatas kemampuan dan pangestu dari anak-anaknya. Misalnya, orang tuanya baru meninggal, kalau 100 harinya sudah mampu mengentas tak masalah. Artinya tidak ada ketentuan harus sekian bulan, atau tahun.
Hajatan entas-entas Pak Ikok puncaknya pada esok harinya. Jika acara malam hari sekadar resepsi atau pesta dan pembacaan doa-doa dengan mengundang sanak famili dan tetangga dekat. “Yang menghaturkan sesuatu di sini istilahnya Pak Dukun. Sekarang masih persiapan, ya begini suasananya. Kalau seperti ini ya habis Rp 20 juta ke atas,” kata dia. Dananya? Selain dari dana pribadi hasil dari mengumpulkan, juga dari tetangga. Sumbangan tetangga sifatnya suka rela. Bisa berupa tenaga dan tidak ada penekanan. Sebaliknya yang punya hajat juga tidak ada penolakan. Katakan diberi uang semampunya, tidak bisa ditolak, harus diterima apa adanya. “Sehingga tradisi seperti ini sudah berlangsung turun-temurun,” kata Ikok
Buwuhan
Pada acara resepsi juga ada buwuhan (kado). Para undangan makan bersama. Kalau untuk hajatan mantu biasanya pulang dikasih oleh-oleh (angsul-angsul). Kalau acara entas-entas, tidak ada angsul-angsul. Entas-entas merupakan acara terakhir, setelah itu tidak ada lagi selamatan untuk orang yang sudah meninggal. Sadiyono mengatakan, makna entas-entas adalah jika orangtua, misalnya, sudah meninggal, kembali kepada Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Kuasa), orang tua itu sudah moksa, dalam istilahnya orang Hindu.
Mengenai kemungkinan wisatawan yang datang di acara entas-entas, Sadiyono mengatakan, pasti ada saja baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara. “Sedangkan mereka yang datang ke Wonokitri untuk melancong, terutama hari libur atau Minggu, lumayan banyak,” kata dia. Bahkan dalam kondisi normal ketika erupsi Gunung Bromo belum terjadi, komunitas jip atau jeep Hartop yang biasa melayani pelancong naik ke Penanjakan, mampu memberikan kontribusi untuk dana kas desa sekitar Rp 3 juta/bulan dari 41 jip yang beroperasi. Dana itu tidak ada ketentuannya, namun secara sukarela untuk pembangunan desa.
Tapi akhir-akhir ini tidak ada lagi setoran mengingat wisatawan yang singgah di kawasan Wonokitri atau melanglang di kawasan Bromo menurun drastis. “Tapi mudah-mudahan pulih lagi seiring dengan normalnya kondisi Gunung Bromo,” kata Sadiyono. Selain penginapan termauk acaraacara khusus, melihat terbitnya matahari di puncak Penanjakan. Kedua, wisata Gunung Bromo, menginap di sini. Rata-rata sekitar 100 orang hingga 125 orang di rumah-rumah tinggal (home stay), ada lima KK yang menyediakan usaha rumah tinggal. Di sekitar pendapa agung terdapat banyak home stay, dan di utara dan selatannya juga ada. Satu malam kalau kelas ekonomi Rp 100 ribu hingga Rp 125 ribu, satu kamar. Kalau yang pakai air hangat, bisa sampai Rp 150 ribu atau lebih
[sumber : http://jawatimuran.wordpress.com]
Comments
Post a Comment